Selasa, 15 Desember 2015 22:10:00
Fatwa MUI Riau Haramkan Atribut Natal bagi Ummat Muslim
PEKANBARU- Jelang perayaan Natal, banyak toko maupun pusat-pusat perbelanjaan yang menggunakan atribut Natal. Salah satunya adalah topi sinterklas yang dipakai karyawannya. Bahkan ada karyawannya yang menggunakan hijab dan menggunakan topi sinterklas.
Ketua Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Pekanbaru, Akbarizan mengatakan bahwa umat muslim dilarang menggunakan atribut Natal.
Pelarangan itu menurutnya mengacu Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dikeluarkan pada 7 Maret 1981. MUI telah mengeluarkan fatwa pada tahun 1981 di masa Ketua Umum MUI Prof Dr Buya Hamka. Fatwa MUI tersebut intinya bahwa umat Islam tidak boleh mencampuradukkan aqidah dan peribadatan agamanya dengan aqidah dan peribadatan agama lain.
"Fatwa MUI itu memfokuskan haramnya bagi umat Islam mengikuti upacara natal. Agar umat Islam tidak terjerumus kepada syubhat dan larangan Allah SWT dianjurkan untuk tidak mengikuti kegiatan-kegiatan Natal. Oleh karena itu, di dalam hari-hari perayaan Natal oleh Umat Kristiani, kita umat Islam cukup dengan memberikan sikap toleran, yakni dengan membiarkan mereka merayakannya dan tidak mengganggunya," terangnya.
Akbarizan menekankan agar pihak perusahaan tidak memaksakan seluruh pekerja memakai aksesoris natal seperti sinterklas kepada mereka yang non nasrani.
"Memaksakan karyawan apalagi Muslim untuk memakai aksesoris natal seperti topi Santa, tentu tidak benar," katanya.
Jangan Ada Pemaksaan
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ma'ruf Amin mengingatkan seluruh pihak untuk tidak memaksakan penggunaan atribut keagamaan jelang perayaan natal.
"Kita menyerukan untuk tidak ada lagi pemaksaan terhadap umat Islam untuk menggunakan atribut natal," ujar Ma'ruf, Kamis (10/12).
Ma'ruf mengaku khawatir pemaksaan akan menyinggung perasaan umat Islam. Hal itu pun dinilai bisa berdampak buruk pada kerukunan yang telah terbangun.
Terkait regulasi yang mengatur kerukunan, Ma'ruf mendorong agar Peraturan Bersama Menteri Agama Nomor 9 dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 Tahun 2006 bisa menjadi undang-undang."Kalau diundang-undangkan nanti akan jadi kekuatan hukum," ujarnya.
MUI mengaku siap mendukung penuh upaya tersebut karena berperan penting dalam menjaga kerukunan umat beragama. Ia menyarankan, dalam revisi aturan tersebut perlu ada tambahan seperti sanksi dan kedudukan majelis agama dalam mengatur umat masing-masing.(rol/rtc)