• Home
  • Komunitas
  • Lawan Perundungan di Sekolah, Ciptakan Sekolah yang Aman, Nyaman dan Menyenangkan
Selasa, 10 Agustus 2021 14:35:00

Lawan Perundungan di Sekolah, Ciptakan Sekolah yang Aman, Nyaman dan Menyenangkan

Penulis; Sri Susilawati AR
 
Perundungan masih kerap dialami para pelajar dan bahkan kian rentan dengan bergandengan tangan memerangi perundungan, kita dapat menciptakan lingkungan sekolah yang ramah dan menyenangkan untuk belajar.
 
Berdasarkan data The Organisation for Economic Co-Operation and Development (OECD) tahun 2019, sebanyak 41,1% persen siswa Indonesia dilaporkan pernah mengalami perundungan, setidaknya beberapa kali dalam sebulan. Hal ini membuat Indonesia merupakan negara dengan tingkat perundungan tertinggi kelima dari semua negara yang menjadi sampel survei OECD. 
 
Adapun berdasarkan data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam kurun waktu sembilan tahun dari tahun 2011-2019, tercatat ada 37.381 pengaduan kekerasan terhadap anak, di mana sebanyak 2.473 laporan merupakan perundungan baik di lingkup pendidikan maupun di sosial media. Besaran angka ini membuat miris bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ini baru kasus perundungan di sekolah yang dilaporkan.
 
Banyak kasus perundungan di sekolah yang tidak dilaporkan, entah karena korban merasa takut, atau tidak tahu harus melapor kemana. Sudah saatnya lawan perundungan di sekolah!
 
Apa Itu perundungan di Sekolah?
 
Perundungan di sekolah adalah kekerasan yang dilakukan oleh siswa kepada siswa lain yang dilakukan secara berulang dengan tujuan untuk menyakiti secara fisik maupun psikis. Tidak semua kasus kekerasan yang terjadi di sekolah sebagai perundungan. Kekerasan yang dilakukan siswa masuk kategori perundungan apabila memenuhi unsur berikut:
 
1. Mengakibatkan kerusakan secara fisik, psikologis, dan sosial pada korban.
2. Kekerasan dilakukan secara berulang-ulang
3. Menimbulkan serangkaian dampak negatif pada korban dalam jangka panjang
4. Memicu tindakan kekerasan lain yang berulang pada korban.
5. Adanya ketidakseimbangan kekuatan antara pelaku dan korban, baik secara fisik maupun non fisik.
 
Kekerasan di sekolah melibatkan tiga pihak yang biasa disebut dengan tiga mata rantai perdagangan, yaitu:
 
Pelaku
Perundungan di sekolah bisa dilakukan siswa secara individual maupun bersama-sama dalam kelompok. Karakteristik pelaku perundungan biasanya bersikap agresif, keinginan kuat untuk mendominasi, toleran terhadap kekerasan, impulsif, dan memiliki empati yang rendah.
 
Korban
Seperti Halnya pelaku bullying, korban perundungan di sekolah bisa individu maupun sekelompok siswa. Korban bullying umumnya siswa yang lemah, tidak memiliki percaya diri, inferior, dan tidak mempunyai keberanian untuk melawan.
 
Saksi
Perundungan kadangkala tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Perundungan terjadi dihadapan siswa lain, secara terang-terangan untuk menunjukkan dominasi pelaku. Siswa yang menyaksikan bisa teman pelaku, ikut membully, atau setidaknya mendukung pelaku. Atau bisa juga teman korban yang tidak berdaya untuk menghentikan pelaku, atau karena takut menjadi korban juga.
 
Bentuk dan Modus perundungan:
 
1. Fisik (tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lempar benda, meludahi, mencubit, merusak, membotaki, mengeroyok, menelanjangi, push up berlebihan, menjemur, mencuci WC, lari keliling lapangan yang berlebihan/ tidak mengetahui kondisi siswa, menyundut rokok, dll).
2. Verbal (mencaci maki, mengejek, memberi label/ julukan jelek, mencela, memanggil dengan nama bapaknya, mengumpat, memarahi, meledek, mengancam, dll).
3. Psikis (pelecehan seksual, memfitnah, menyingkirkan, mengucilkan, mendiamkan, mencibir, penghinaan, menyebarkan gosip).
 
Upaya atasi perundungan oleh pihak sekolah
Aksi perundungan yang dibiarkan atau tidak dikenakan konsekuensi logis, dikatakan Rendra dapat membuat perundungan akan semakin tumbuh subur. Untuk itu, pihak sekolah perlu melakukan pengawasan, evaluasi dan menindaklanjuti perundingan yang terjadi.
 
1. Melakukan pengawasan dan penjagaan atas aktivitas murid-murid di sekolah Jika ada insiden yang terjadi, sekolah perlu memfasilitasi mereka untuk menyelesaikan masalah, misalnya dengan memberikan ruang yang aman untuk berdiskusi dan negosiasi. Perlu memakai perspektif disiplin positif dengan memberikan mereka konsekuensi-konsekuensi yang logis, bukan hukuman yang disamaratakan. 
2. Menindaklanjuti jika terdapat potensi perundungan Apabila sekolah membiarkan hal tersebut terjadi, maka perundungan akan semakin tumbuh subur. Oleh karena itu, perlu memberikan arahan dan batasan yang jelas apabila ingin memberikan mandat kepada panitia murid, misalnya melalui OSIS. Perlu juga memberikan kesempatan bagi mereka untuk bertanya dan berdiskusi lebih lanjut terkait arahan dan batasan agar setiap panitia murid memiliki pemahaman yang sama.
3. Memberikan gambaran sistem penanganan atau dukungan sekolah Pihak sekolah penting memberikan mandat bagi orang-orang yang dapat dihubungi. Hal ini dapat dilakukan dengan menyampaikan titik kulminasi yang perlu bagi mereka, juga mengakses sistem dukungan atau penanganan karena secara perkembangan psikologis-emosional maupun secara legal mereka belum bisa mengambil keputusan dalam isu atau aktivitas tertentu. 
4. Pentingnya melakukan evaluasi dan refleksi kegiatan secara konsisten Sekolah perlu melakukan hal tersebut agar setiap panitia murid bisa memahami hal yang sudah berjalan baik dan sesuai harapan. Juga aspek-aspek yang perlu ditingkatkan. Hal ini bisa membantu para murid untuk memahami koridor perilaku yang dibolehkan oleh sekolah, selain untuk membangun kemandirian para murid.
5. Membuat sistem dukungan dan penanganan terkait dengan perundungan Sekolah perlu memastikan semua entitas yang ada di sekolah memiliki pemahaman yang sama mengenai perundungan, mulai dari pimpinan, tenaga pendidik, tenaga kependidikan, murid, hingga orang tua. Mereka juga perlu memahami hal yang perlu dilakukan jika menyaksikan ataupun menjadi sasaran perundungan.**
 
Share
Komentar
Copyright © 2024 . All Rights Reserved.